Peran Optimasi Air Irigasi
Indonesia terancam mengalami krisis pangan? Gejala ini setidaknya sudah dirasakan sejak tahun 2004 karena multi faktor. Menyempitnya lahan pertanian akibat alih fungsi untuk perumahan, atau tempat usaha adalah salah satu penyebab. Di samping kurangnya perhatian pemerintah dalam menangani sektor irigasi dan waduk.
Banyaknya kerusakan saluran irigasi mengindikasikan gejala krisis pangan akan meningkat di tahun-tahun mendatang, jika pemerintah tidak cepat menangani permasalahan ini. Dibandingkan negara berkembang di Asia, sektor irigasi pengairan di Indonesia memang menempati peringkat di bawah Thailand. Dan sebagai negara agraris, Indonesia mutlak membutuhkan irigasi untuk menunjang—tidak saja—sektor pertanian, tetapi juga sektor kesehatan, pariwisata, industri, dll.
Kekontrasan sangat terlihat nyata, ketika membandingkan sektor irigasi dengan sektor lainnya. Taruhlah, PLTA—yang sama-sama memakai air sebagai bahan utamanya. Di satu sisi, PLTA, tanpa mengonsumsi air, mendapatkan income lebih besar ketimbang irigasi. Di sisi lain, irigasi mendapatkan income nol besar, terkecuali iuran dari petani untuk membantu biaya operasional. Padahal mengoptimasi keduanya agar bisa harmonis sangat sulit.
Ini jelas ketimpangan. Akan tetapi, jika hitung-hitungan ekonomis dijadikan dasar acuan, bisa kacau. Artinya, sektor pangan Indonesia bisa hancur. Pengorbanan tentu harus dilakukan agar topangan semua pihak bisa tetap berjalan, maka itulah peran optimasi irigasi ini ada. Walaupun begitu, pendeknya data dan laporan yang buruk yang dimiliki Dinas Irigasi dan Air Indonesia membuat kendala tersendiri.
Namanya Rachmad Jayadi. Dosen sekaligus peneliti Fakultas Teknik Sipil Universitas Gajah Mada yang lahir di Surakarta, 24 Desember 1962. Pada 2008, dia pernah melakukan penelitian optimasi irigasi dengan contoh kasus Waduk Sermo. Penelitian yang diberi judul ”Kaji Ulang Rule Curve Waduk Sermo untuk Optimasi Pemanfaatan Air Irigasi”, bertujuan mendapatkan Rule Curve dan Operating Rule Waduk Sermo berdasarkan hasil analisis ketersediaan air dan pola kebutuhan air irigasi.
Penelitian ini bukan yang pertama kalinya dilakukan. Beberapa peneliti lain juga pernah menerapkan teorinya di Waduk Sermo ini. Pembedanya, kaji ulang yang dilakukan Rachmad menggunakan model simulasi dan algoritma optimasi. Lagipula tiap-tiap waduk memiliki karakteristik sendiri terkait kondisi geografisnya. Pada penelitian terakhir telah dilakukan pembuatan perangkat lunak operasi Waduk Sermo berdasarkan Rule Curve lama dan analisis kapasitas suplai menggunakan metode neraca air global dan simulasi hitungan reliabilitas operasi waduk oleh CV. Erlangga Pura tahun 2005.
Dan pada penelitian ini prosedur pemutakhiran Rule Curve akan dilakukan dengan pendekatan simultan model simulasi dan optimasi dengan harapan hasilnya akan lebih teliti dan sesuai dengan karakteristik perubahan ketersediaan dan pola kebutuhan air.
Hasil penelitian ini memberikan kesimpulan umum dua hal penting tentang potensi pemanfaatan air Waduk Sermo. Pertama adalah bahwa kapasitas pemenuhan air irigasi tidak cukup untuk memberikan suplesi air pada seluruh areal tanam, yaitu hanya sekitar 53%. Hal penting kedua adalah masih dimungkinkannya upaya pemutakhiran Rule Curve operasi Waduk Sermo untuk pengaturan air irigasi dengan indikator nilai rerata faktor k, yaitu rasio antara release nyata terhadap kebutuhan air.
Banyaknya kerusakan saluran irigasi mengindikasikan gejala krisis pangan akan meningkat di tahun-tahun mendatang, jika pemerintah tidak cepat menangani permasalahan ini. Dibandingkan negara berkembang di Asia, sektor irigasi pengairan di Indonesia memang menempati peringkat di bawah Thailand. Dan sebagai negara agraris, Indonesia mutlak membutuhkan irigasi untuk menunjang—tidak saja—sektor pertanian, tetapi juga sektor kesehatan, pariwisata, industri, dll.
Kekontrasan sangat terlihat nyata, ketika membandingkan sektor irigasi dengan sektor lainnya. Taruhlah, PLTA—yang sama-sama memakai air sebagai bahan utamanya. Di satu sisi, PLTA, tanpa mengonsumsi air, mendapatkan income lebih besar ketimbang irigasi. Di sisi lain, irigasi mendapatkan income nol besar, terkecuali iuran dari petani untuk membantu biaya operasional. Padahal mengoptimasi keduanya agar bisa harmonis sangat sulit.
Ini jelas ketimpangan. Akan tetapi, jika hitung-hitungan ekonomis dijadikan dasar acuan, bisa kacau. Artinya, sektor pangan Indonesia bisa hancur. Pengorbanan tentu harus dilakukan agar topangan semua pihak bisa tetap berjalan, maka itulah peran optimasi irigasi ini ada. Walaupun begitu, pendeknya data dan laporan yang buruk yang dimiliki Dinas Irigasi dan Air Indonesia membuat kendala tersendiri.
Namanya Rachmad Jayadi. Dosen sekaligus peneliti Fakultas Teknik Sipil Universitas Gajah Mada yang lahir di Surakarta, 24 Desember 1962. Pada 2008, dia pernah melakukan penelitian optimasi irigasi dengan contoh kasus Waduk Sermo. Penelitian yang diberi judul ”Kaji Ulang Rule Curve Waduk Sermo untuk Optimasi Pemanfaatan Air Irigasi”, bertujuan mendapatkan Rule Curve dan Operating Rule Waduk Sermo berdasarkan hasil analisis ketersediaan air dan pola kebutuhan air irigasi.
Penelitian ini bukan yang pertama kalinya dilakukan. Beberapa peneliti lain juga pernah menerapkan teorinya di Waduk Sermo ini. Pembedanya, kaji ulang yang dilakukan Rachmad menggunakan model simulasi dan algoritma optimasi. Lagipula tiap-tiap waduk memiliki karakteristik sendiri terkait kondisi geografisnya. Pada penelitian terakhir telah dilakukan pembuatan perangkat lunak operasi Waduk Sermo berdasarkan Rule Curve lama dan analisis kapasitas suplai menggunakan metode neraca air global dan simulasi hitungan reliabilitas operasi waduk oleh CV. Erlangga Pura tahun 2005.
Dan pada penelitian ini prosedur pemutakhiran Rule Curve akan dilakukan dengan pendekatan simultan model simulasi dan optimasi dengan harapan hasilnya akan lebih teliti dan sesuai dengan karakteristik perubahan ketersediaan dan pola kebutuhan air.
Hasil penelitian ini memberikan kesimpulan umum dua hal penting tentang potensi pemanfaatan air Waduk Sermo. Pertama adalah bahwa kapasitas pemenuhan air irigasi tidak cukup untuk memberikan suplesi air pada seluruh areal tanam, yaitu hanya sekitar 53%. Hal penting kedua adalah masih dimungkinkannya upaya pemutakhiran Rule Curve operasi Waduk Sermo untuk pengaturan air irigasi dengan indikator nilai rerata faktor k, yaitu rasio antara release nyata terhadap kebutuhan air.
0 komentar:
Post a Comment