Demi Indonesia Sehat, Perjuangan Naning AA di Bidang Kesehatan Toilet
Indonesia Revive! -- Pada 1999, Naning Adiningsih Adiwoso disambangi pemilik produsen toilet ternama untuk mengikuti konferensi toilet di Kyozo, Jepang. Naning menampiknya. "Apa yang menarik dari toilet?" ujar pemilik PT ADI (1975-1977), konsultan desain interior, arsitek, perencana fasilitas dan lingkungan ini. Namun perusahaan tersebut meyakinkannya untuk berpikir terbuka. Akhirnya, dia pun berangkat ke Kyozo.
Ternyata, konferensi yang dengan enggan ia datangi itu justru membuka matanya. Ia baru memahami bahwa Asia, sebagai benua dengan penduduk terbanyak, paling rentan terhadap pelbagai penyakit yang ditularkan karena pola hidup yang tidak sehat, di antaranya sembarangan membuang hajat.
Ia pun menjadi amat antusias menggeluti dunia toilet. "Saya suka ditantang," kata wanita yang pernah mengenyam pendidikan di International Institute of Interior Design, Washington, DC, USA (1972-1975) dan Environmental Design, Pratt Institute, New York, USA (1975-1977) ini.
Menurut dia, kebanyakan masyarakat Indonesia meremehkan ruang yang sehari-hari berkali-kali digunakan ini. Bahkan sebutan yang diberikan pun adalah kamar kecil atau kamar belakang. Cara memperlakukannya pun seperti perlakuan terhadap anak tiri dalam cerita film, dibiarkan basah, kotor, dan berbau. "Padahal toilet yang kering itu penting untuk kesehatan," kata Ketua Green Building Council Indonesia (2008) ini.
Belum lagi, banyak orang Indonesia tak paham soal standar pembangunan toilet. Misalnya jarak antara pintu dan toilet minimal 80 sentimeter. Naning pun kian tergugah untuk mendalami masalah toilet ini. Ia mulai mengkampanyekan toilet bersih dan kering. Apalagi, menurut Naning, Indonesia tertinggal jauh dibanding negara-negara lainnya soal toilet ini.
Ia pernah harus menahan malu saat berlangsung pertemuan Asosiasi Toilet Dunia di Singapura pada 2001. Saat itu delegasi Cina -- negeri terbesar jumlah penduduknya -- mengatakan negerinya sudah mulai memperbaiki pengurusan toilet sejak 1995, sebagai persiapan menjadi tuan rumah Olimpiade 2008. "Gila, kan, jauh-jauh hari persiapan mereka," katanya.
Banyak negara lain juga berpandangan toilet amat penting dalam kaitannya dengan pariwisata. Saat konferensi tingkat tinggi Organisasi Toilet Dunia di Beijing, Cina, pada 2004, konsep Better Toilet More Tourist diperkenalkan. Slogan A Nation without Clean Toilet is a Nation without Culture didengungkan.
Naning kian terpacu. Pada 2001 ia mendirikan Asosiasi Toilet Indonesia. Ia juga menjadi salah satu pendiri World Toilet Organization pada 2002. Perjuangan Naning tak cepat berbuah. Ia bahkan biasa ditertawai atau dicemooh. Termasuk ketika ia meminta bantuan ke kementerian yang berkorelasi dengan pembangunan infrastruktur dan kesehatan.
Ia pernah mendapat komentar, "Kan sudah ada MCK (infrastruktur untuk mandi, cuci, kakus)." Padahal, ia menegaskan, ini bukan hanya urusan keberadaan MCK, tapi bagaimana membangun toilet yang bersih dan kering.
Naning tak surut. Untung, gerakannya kemudian didukung Menteri Kebudayaan dan Pariwisata waktu itu, I Gede Ardhika. Asosiasinya mulai menerbitkan stiker dan poster mengkampanyekan toilet kering dan bersih.
Awalnya, ia berkonsentrasi pada toilet umum, seperti di jalan, terminal, bandara, dan mal. Setelah itu, toilet sekolah menjadi perhatiannya. Ia mempelajari banyak anak yang memilih menahan buang hajat lantaran toilet di sekolah bau, kotor, dan tidak sehat. "Akibatnya, sakit." Untuk tugas ini, "Anak-anak sekolah kami angkat menjadi ambassador of toilet." kata peraih Student Design Award, IIID (1975) ini.
Sementara itu, kampanye kepada para desainer interior juga digalakkan. Anggota Badan Eksekutif Himpunan Desainer Interior Indonesia ini mensosialisasi cara membangun toilet yang sehat dan memenuhi standar dunia. "Demi Indonesia sehat," kata peraih 2 penghargaan Pro Vitae Award oleh International Federation of Interior Architects (IFI) yang bermarkas di Montreal, Kanada karena membuat Green Toilet- Tsunami Aceh dan One School Reconstruction Gempa Jogja (2007) ini.
Sumber tulisan, sumber foto
Ternyata, konferensi yang dengan enggan ia datangi itu justru membuka matanya. Ia baru memahami bahwa Asia, sebagai benua dengan penduduk terbanyak, paling rentan terhadap pelbagai penyakit yang ditularkan karena pola hidup yang tidak sehat, di antaranya sembarangan membuang hajat.
Ia pun menjadi amat antusias menggeluti dunia toilet. "Saya suka ditantang," kata wanita yang pernah mengenyam pendidikan di International Institute of Interior Design, Washington, DC, USA (1972-1975) dan Environmental Design, Pratt Institute, New York, USA (1975-1977) ini.
Menurut dia, kebanyakan masyarakat Indonesia meremehkan ruang yang sehari-hari berkali-kali digunakan ini. Bahkan sebutan yang diberikan pun adalah kamar kecil atau kamar belakang. Cara memperlakukannya pun seperti perlakuan terhadap anak tiri dalam cerita film, dibiarkan basah, kotor, dan berbau. "Padahal toilet yang kering itu penting untuk kesehatan," kata Ketua Green Building Council Indonesia (2008) ini.
Belum lagi, banyak orang Indonesia tak paham soal standar pembangunan toilet. Misalnya jarak antara pintu dan toilet minimal 80 sentimeter. Naning pun kian tergugah untuk mendalami masalah toilet ini. Ia mulai mengkampanyekan toilet bersih dan kering. Apalagi, menurut Naning, Indonesia tertinggal jauh dibanding negara-negara lainnya soal toilet ini.
Ia pernah harus menahan malu saat berlangsung pertemuan Asosiasi Toilet Dunia di Singapura pada 2001. Saat itu delegasi Cina -- negeri terbesar jumlah penduduknya -- mengatakan negerinya sudah mulai memperbaiki pengurusan toilet sejak 1995, sebagai persiapan menjadi tuan rumah Olimpiade 2008. "Gila, kan, jauh-jauh hari persiapan mereka," katanya.
Banyak negara lain juga berpandangan toilet amat penting dalam kaitannya dengan pariwisata. Saat konferensi tingkat tinggi Organisasi Toilet Dunia di Beijing, Cina, pada 2004, konsep Better Toilet More Tourist diperkenalkan. Slogan A Nation without Clean Toilet is a Nation without Culture didengungkan.
Naning kian terpacu. Pada 2001 ia mendirikan Asosiasi Toilet Indonesia. Ia juga menjadi salah satu pendiri World Toilet Organization pada 2002. Perjuangan Naning tak cepat berbuah. Ia bahkan biasa ditertawai atau dicemooh. Termasuk ketika ia meminta bantuan ke kementerian yang berkorelasi dengan pembangunan infrastruktur dan kesehatan.
Ia pernah mendapat komentar, "Kan sudah ada MCK (infrastruktur untuk mandi, cuci, kakus)." Padahal, ia menegaskan, ini bukan hanya urusan keberadaan MCK, tapi bagaimana membangun toilet yang bersih dan kering.
Naning tak surut. Untung, gerakannya kemudian didukung Menteri Kebudayaan dan Pariwisata waktu itu, I Gede Ardhika. Asosiasinya mulai menerbitkan stiker dan poster mengkampanyekan toilet kering dan bersih.
Awalnya, ia berkonsentrasi pada toilet umum, seperti di jalan, terminal, bandara, dan mal. Setelah itu, toilet sekolah menjadi perhatiannya. Ia mempelajari banyak anak yang memilih menahan buang hajat lantaran toilet di sekolah bau, kotor, dan tidak sehat. "Akibatnya, sakit." Untuk tugas ini, "Anak-anak sekolah kami angkat menjadi ambassador of toilet." kata peraih Student Design Award, IIID (1975) ini.
Sementara itu, kampanye kepada para desainer interior juga digalakkan. Anggota Badan Eksekutif Himpunan Desainer Interior Indonesia ini mensosialisasi cara membangun toilet yang sehat dan memenuhi standar dunia. "Demi Indonesia sehat," kata peraih 2 penghargaan Pro Vitae Award oleh International Federation of Interior Architects (IFI) yang bermarkas di Montreal, Kanada karena membuat Green Toilet- Tsunami Aceh dan One School Reconstruction Gempa Jogja (2007) ini.
Sumber tulisan, sumber foto
0 komentar:
Post a Comment