“Saya ingin memajukan teknologi dan sains Indonesia melalui hasil-hasil pemikiran yang ‘only one’ di dunia"
"Josaphat TS Sumantyo menemukan radar 3D yang dipakai banyak perusahaan Jepang."
Di Jepang, bersepeda dan berjalan kaki memang hal biasa. Tak heran, bila saban hari, Pak Josh – begitu panggilan akrab Josaphat, mengantar-jemput anaknya menggunakan sepeda bermerk Drake, itu. Dengan sepeda itu pula, Josh biasa pulang-pergi dari kediamannya ke kampus Chiba University Jepang.
Di kampus itu, Josh dipercaya mengelola Josaphat Microwave Remote Sensing Laboratory yang merupakan laboratorium pengembangan perangkat dan aplikasi penginderaan jarak jauh microwave terlengkap di Jepang saat ini. Lab itu mendukung segala perancangan sensor microwave (SAR), fabrikasi hingga pengoperasiannya, bahkan pengembangan aplikasi penginderaan jarak jauh.
Josh telah lama mendalami bidang antena, sensor, dan radar. Totalitas dan dedikasinya di bidang ini membuatnya meraih berbagai penghargaan. Mulai dari Nanohana Venture Competition Award, Nanohana Competition Award, hingga Chiba University President Award (kesemuanya diselenggarakan oleh Chiba University).
Jago radar
Pada awal Maret 2010 lalu, ia juga menyabet penghargaan The Society of Instrument and Control Engineers (SICE) Remote Sensing Division Award. Anggota Society of Instrument and Control Engineers (SICE) sendiri adalah lembaga-lembaga besar seperti JAXA (lembaga antariksa Jepang), NICT (Institut Nasional Teknologi Informasi dan Komunikasi Jepang), NIES (Institut Nasional Studi Lingkungan), ISAS (Institut Ilmu Pengetahuan Antariksa dan Astronotikal), universitas-universitas, serta perusahaan-perusahaan besar perlengkapan antariksa Jepang mulai dari Mitsubishi, Toshiba, dan NEC.
Penghargaan ini dianugerahkan atas hasil penelitiannya berjudul 'Long term continuously DInSAR technique for volume change estimation of subsidence'. Dengan memakai metoda baru penginderaan synthetic aperture radar (SAR), Josh bisa mengukur perubahaan volume permukaan bumi dengan tingkat akurasi hingga millimeter kubik.
“Setiap perubahan di permukaan bumi beberapa millimeter kubik dapat dideteksi secara akurat menggunakan metoda saya dari ruang angkasa,” ujar Josh kepada VIVAnews melalui surat elektronik. Menggunakan sensor yang disandang satelit milik Jepang: JERS-1 SAR dan ALOS PALSAR, dari ketinggian sekitar 800 km, Josaphat mampu mengetahui adanya penurunan permukaan bumi yang cukup besar di wilayah Bandung dan sekitarnya dari tahun 1993 hingga 2010.
Menurut dia, kota Cimahi mengalami penurunan permukaan tanah sebesar sekitar 19 kali volume stadion Senayan. Sedangkan daerah Dayeuhkolot dan Baleendah Bandung telah kehilangan volume tanah selama kira-kira 3,2 dan 1,1 kali dari volume stadion Senayan.
“Penurunan tanah di daerah Cimahi, Dayeuhkolot, dan Baleendah terjadi karena penyedotan air bawah tanah yang berlebihan akibat semakin tambahnya populasi penduduk dan industri di daerah tersebut,” ia menjelaskan.
Menurutnya, metoda penginderaan itu akan lebih baik hasilnya bila memakai sensor yang sedang ia kembangkan. Karena itu, Josh akan meluncurkan satelit sendiri yang akan membawa sensor besutannya pada 2014 yaitu circularly polarized synthetic aperture radar microsatellite atau disingkat CP-SAR mSAT .
Rencananya, microsatellite itu akan dipasangi radar kecil dan antenna-antenna berukuran 2 micron meter sebagai sensor observasi bumi, yang bahkan untuk melihatnya pun perlu menggunakan mikroskop. Bila persiapannya lancar, mikrosatelit ini akan menjadi mikrosatelit pertama di dunia yang dipasangi sensor radar.
Secara keseluruhan, Josh telah memiliki seratusan paten yang tersebar di 118 negara di dunia. Karya-karyanya sebagian telah dimanfaatkan oleh pelaku industri di Jepang dan di masa depan, akan diaplikasikan di bidang telekomunikasi, transportasi, penginderaan jarak jauh,kesehatan maupun miiliter.
1200 unit Radar cuaca buatannya akan digunakan oleh perusahaan Jepang Weathernews Corporation untuk mengirimkan informasi prediksi cuaca 3-Dimensi. Informasi ini nantinya juga digunakan untuk navigasi pesawat, kapal (alat transportasi massa) dengan lebih akurat. Ia juga tengah membuatkan radar anti bajak laut bagi kapal-kapal skala besar Jepang, maupun radar-radar untuk mobil yang melewati daerah bersalju.
Sebenarnya masih banyak lagi riset-risetnya yang bermanfaat dan sangat relevan dengan kebutuhan dalam negeri Indonesia. Antara lain risetnya di bidang pemantauan pergerakan lempeng serta pemantauan musibah dan manajemen bencana berbasis penginderaan jarak jauh.
“Riset ini dapat digunakan memonitor pergerakan permukaan bumi dengan akurasi milimeter, memonitor pergeseran permukaan bumi sebelum tanah longsor terjadi, atau pergerakan sesar atau patahan,” kata dia. Sayangnya, bukan Indonesia yang memanfaatkannya, justru negeri jiran yang menikmati hasil penelitian ini.
Riset ini justru menjadi salah satu bantuan teknologi pemerintah Jepang kepada pemerintah Malaysia untuk memetakan daerah-daerah rawan tanah longsor di Semanjung Malaysia yang proyeknya akan dilaksanakan selama tahun 2011-2016, melalui program Official Development Assistance (ODA).
Jualan es lilin
Kesuksesan Josaphat tak lepas dari kisah hidupnya di masa lalu. Pada diri Josh bisa mengalir darah pengajar, baik dari ayahnya, maupun ibunya. Ayahnya, Michael Suman Juswaljati adalah instruktur Komando Pasukan Gerak Tjepat (Kopasgat, sekarang Kopaskhas) TNI-AU. Sementara Ibunya, Florentina Srindadi, pernah menjadi guru Taman Kanak-kanak. “Mungkin secara tidak sadar ini yang menyebabkan sayapun kini menjadi staf pengajar di Chiba University,” kata Josh
Lahir pada 25 Juni 1970 di RSAU Lapangan Udara Sulaiman Margahayu Kabupaten Bandung, Josh kemudian dibesarkan di desa kecil Colomadu Kartasura Jawa Tengah, hingga SMP. Ia mulai mengenal radar-radar milik AURI saat ikut ayahnya melatih tentara di sekolah pendidikan yang bersebelahan dengan bagian perbengkelan dan pemeliharaan radar (Benhar), ke pangkalan udara Adisumarmo Solo.
Sejak kecil ia dididik mandiri dan menjadi pekerja keras. Josh pernah berjualan es lilin semasa SD hingga SMP. Josh menjadi terbiasa memutar otak mencari siasat agar dagangannya laris. “Saya terbiasa berpikir cepat dan tanggap membaca kebutuhan orang lain sejak kecil, termasuk menghitung hasil penjualan dan memberikan bonus kepada ibu-ibu yang membantu menjualkan es lilin keluarga kami di desa-desa sekitar kami tinggal.”
Josh melanjutkan sekolahnya ke SMA Negeri I Solo. Lalu dia mendapatkan beasiswa untuk kuliah S1 dan S2 di Kanazawa University Jepang pada jurusan Electrical and Computer Engineering. Kemudian ia mendapatkan gelar Ph.D. di bidang Applied Radio Wave and Radar Systems dari Chiba University pada 2002.
Setelah itu ia sempat diminta menjadi staff pengajar di Chiba University (Jepang), Leicester University (UK), dan University of Hebrew (Israel), namun ia memilih Chiba University karena dekat dengan Bandara Narita, sehingga tetap bisa mendukung kegiatan penelitian dan kontribusinya ke seluruh dunia.
Tak cuma menjadi Associate Professor (karyawan permanen atau PNS) di kementerian pendidikan dan teknologi Jepang (Monbukagakusho), Josh juga menjadi visiting professor, adjunct professor dan jabatan lain di Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Udayana, Universitas Hasanuddin, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Padjajaran. Secara berkala ia datang ke sini untuk mengajar universitas-universitas Indonesia, dan tak segan-segan mengeluarkan kocek pribadinya untuk itu.
Banyak pula mahasiswa asal Indonesia yang berkemauan kuat untuk maju dan berprestasi, yang kemudian menemukan teknologi tinggi melalui labnya di Chiba. “Saya ingin memajukan teknologi dan sains Indonesia melalui hasil-hasil pemikiran yang ‘only one’ di dunia, khususnya di bidang sensor-sensor untuk ruang angkasa dan penginderaan jarak jauh.”
Jangan ikut asing
Lama menimba ilmu dan berkarya di negeri orang memberikannya perspektif tentang kondisi di tanah air. Menurut Josh, seharusnya setiap negara –termasuk Indonesia, memiliki ciri tersendiri dalam menciptakan sistem pendidikan dan budaya keilmuan, demikian juga seharusnya di Indonesia. Ia melihat kebijakan sekarang cenderung mengejar ketertinggalan teknologi dan sains Indonesia dari negara maju.
Padahal, semestinya kita mengkaji cara pikir ke-Indonesia-an yang khas sebelum menciptakan bibit-bibit teknologi yang bisa disumbangkan untuk dunia. “Kalau kita mengejar terus, maka kita akan ketinggalan terus. Sebaiknya kita harus perbaiki arahnya untuk menciptakan trend keilmuan yang bersumber dari kesadaran akan alam Indonesia.”
Selain itu ia juga khawatir, karena banyak budaya dan pemikiran khas Indonesia yang telah ditinggalkan. “Kita malah berlomba-lomba menyempurnakan pemikiran, tradisi dan budaya bangsa asing di Indonesia, seakan lebih murni dan sempurna dibanding di tempat asalnya,” kata Josh. Padahal, ini justru akan menutup kemampuan berfikir, sekaligus menghilangan jati diri dan budaya kita.
Agar “warna” Indonesia tak pudar di peta dunia, kata dia, kita perlu keras kepala kepada budaya asing, bukan malah mengikutinya. Lebih jauh, Josh merujuk beberapa negara-negara yang memiliki latar belakang budaya kuat, seperti Jepang, China, Korea, dan bahkan Israel.
Kolektor peta kuno
Di luar kegiatan akademiknya, Josh punya hobi mengumpulkan dokumen lama budaya Indonesia, dan peta kuno Indonesia maupun dunia. Dia banyak mendapatkan benda-benda itu melalui lelang. Koleksinya antara lain peta dari abad 19. Hobinya ini dipicu oleh kenangannya di masa kecil karena ayahnya sering membawa peta militer.
“Dulu saya hanya ingin punya peta-peta kuno wilayah Indonesia saja, tetapi sekarang sudah saya kumpulkan peta-peta kuno asli untuk wilayah Asia Tenggara, Asia Selatan, Asia timur, hingga Australia, dalam berbagai skala. Bahkan Josh tengah menyusun sebuah buku tentang sejarah pembuatan peta.
Namun, hobi Josh paling utama adalah kegiatan penelitian itu sendiri. “Saya adalah pekerjaan saya, dan pekerjaan saya adalah hobi saya, yaitu penelitian itu sendiri yang telah saya senangi sejak kecil,“ kata Josh. Menurut Dra. Rr. Innes Indreswari Soekanto, M.S.Arch , istri Josh yang juga dosen pengajar di Institut Teknologi Bandung, suaminya selalu membiasakan budaya analisa dan penelitian di setiap kesempatan.
“Bahkan di saat keluarga tengah piknik dan berekreasi ‘kepala’ kami tak pernah ditinggal,” kata Innes sambil tertawa. Misalnya saja, saat keluarga mereka berlibur ke Eropa saat tahun lalu, Josh juga menyempatkan diri untuk mempelajari tentang unmanned aerial vehicle (pesawat tak berawak) di Ulm Jerman. Kebiasaan ini pun kemudian ditularkan kepada anak semata wayang mereka, Johannes Pandhito Panji Herdento yang masih berusia 12 tahun.
Menurut Josh, ia kerap mengajak Mas Dhito (panggilan Josh kepada anaknya) saat melakukan survei atau mempresentasikan hasil penelitian mereka ke berbagai tempat. Kepadanya, Josh juga menanamkan kebebasan berpikir dan mengekspresikan diri, serta kepekaan membaca lingkungan dan kondisi alam. “Agar kelak bagaimanapun lingkungan berubah, dia dapat menyesuaikan diri tanpa mengorbankan jati dirinya.”
Di luar karirnya, Josh menyimpan obsesi pribadi. Dia ingin membuat dan meluncurkan satelit untuk mengamati planet-planet, termasuk planet bumi. Di masa tuanya nanti, Josh ingin menikmati masa pensiunnya bersama keluarga sambil terus menjalankan penelitian-penelitian pribadinya.
“Saya ingin berkumpul bersama isteri, membimbing anak dan cucu-cucu, bersilaturahmi dengan semua manusia, sambil terus mengelola laboratorium radar pribadi, studio seni, dan museum keluarga kami yang berisi koleksi yang kami kumpulkan selama ini, termasuk kendaraan pribadi saya - sepeda onthel yang menemani saya selama ini di Jepang,” kata Josh.(np)
• VIVAnews
2 komentar:
wiiihh...keren infonya... mampir ya di blog q juga.... http://iptek212.blogspot.com
Sama-sama Mas, kita juga senang dikunjungi. saya telah melakukan kunjungan balik.
Post a Comment