Manabu, Maneru, dan Nusumu
Misa Suwarsa, yang kini dikenal sebagai ahli ”supa” alias jamur, adalah praktisi mikrobiologi yang juga petani jamur merang di Desa Mekarjati, Kabupaten Karawang, Jawa Barat yang berhasil menciptakan bibit jamur merang sendiri.
Pria kelahiran Depok, 9 April 1959 ini mengenyam pendidikan SD, SMP dan SMA-nya di Depok. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikan S1 Teknik Kimia di Universitas Muhammadiyah Jakarta terus melanjutkan di jurusan yang sama untuk S2-nya di ITB.
Misa seperti menjalani konsep Restorasi Meiji, manabu (belajar), maneru (meniru), dan nusumu (mencuri) ilmu pengetahuan dan teknologi. Doktor teknik kimia Institut Teknologi Bandung (1985) ini berhasil menciptakan bibit jamur merang sendiri.
Setelah 30 tahun dia mengembangkan bibit itu, kini mantan pegawai Badan Tenaga Nuklir Nasional itu berhasil menjadi jurig supa (bahasa Sunda) atau hantu jamur. Misa dianggap sebagai ahli atau tukang jamur.
Selain pernah dikucilkan keluarga, ia juga dikucilkan almamater akibat tindakan ”restorasinya” dari ranah intelektual akademis ke pematang sawah. ”Ijazah S-3 hingga kini belum pernah saya pegang karena harus ditebus Rp 200 juta. Saya tidak mau…,” ujar pria yang juga pernah mengambil S3 di Universitas Sorbonne, Perancis ini.
Kisahnya dimulai tahun 1989-an ketika ia memutuskan keluar dari pengajar di ITB dan beralih menjadi petani jamur. ”Saat itu gaji saya sudah Rp 1.920 juta, ketika (nilai satu) dollar AS masih Rp 1.500,” kenangnya.
Keputusannya itu mengundang kemarahan orangtuanya. Ia lalu diusir dari keluarganya di Depok. Hanya dengan bekal Rp 10.000, ia pun harus meninggalkan keluarga besarnya. ”Itu uang dari ibu saya,” kata ayah 2 anak ini.
Misa dianggap intelektual dungu. Dengan bekal uang dan baju seadanya, ia pergi ke Karawang. Daerah lumbung padi ini merupakan kawasan potensial budidaya jamur merang.
Setiba di Karawang, Misa langsung mencari kubung, bekas budidaya jamur yang sudah tidak dipakai di Tanjungpura, perbatasan Karawang-Bekasi. Dia berjalan kaki berkilo-kilometer menyusuri irigasi mencari pemilik kubung untuk meminjamnya.
Hari sudah malam setiba di dekat kubung. ”Saya tidur di kandang kambing karena petani ini anaknya 12 orang,” kenangnya.
Petani miskin yang ditemuinya itu tertarik dengan cerita Misa soal budidaya jamur, tetapi tidak punya modal untuk membudidayakannya. Sementara empat kubung yang tersedia di sana harus disewa Rp 200.000 per kubung.
Misa pun kemudian meminjam uang ”monyet” (pinjaman rentenir). Jika pinjam Rp 200.00, harus kembali Rp 300.000 dalam sebulan. Mereka butuh modal Rp 600.000 untuk media tanam, yakni jerami dan kapas. Uang yang tersedia adalah uang ”setan” atau ”uang iblis”.
Warga desa menyebut uang pinjaman itu demikian karena pengembalian uang panas itu amat menjerat. Jika pinjam Rp 600.000, harus kembali Rp 1,2 juta dalam sebulan.
Misa benar-benar di persimpangan jalan. Yang bisa dia lakukan hanya shalat tahajud (shalat malam) selama tiga malam. Tuhan pun memberikan jalan untuk melangkah. Dia mendapat pinjaman tanpa agunan.
Dia memperbaiki kubung dengan mengangkut jerami sendiri dari sawah. Daun kelapa untuk biliknya dia ambil dengan memanjat pohon sendiri. ”Badan saya lecet-lecet,” ceritanya.
Singkat kata, delapan hari kemudian, bibit jamur yang dia buat sendiri tumbuh dengan baik dan dijual di pasar Cikampek, Karawang, dengan harga total Rp 1,45 juta.
Dia mengembalikan pinjaman Rp 1,2 juta sesuai perjanjian tertulis di atas segel. ”Uang tersisa hanya Rp 250.000,” ujarnya. Namun, setelah itu, pemilik tanah kubung tidak mengizinkan lagi Misa menanam jamur.
Misa akhirnya bertemu dengan pemilik kubung bekas sopir Kedutaan Besar Amerika Serikat. Pemilik kubung itu memang menyerahkan pengelolaan, tetapi tidak meminjamkan modalnya.
Misa kembali kepada rentenir. Tetapi, kali ini hanya ada uang ”jalan”. Itu sebutan uang pinjaman yang harus dikembalikan secepat mungkin. Jika meminjam Rp 300.000, harus kembali Rp 600.000 dalam delapan hari!
Tanpa berpikir panjang, ia modali empat kubung. Delapan hari kemudian, Misa mampu mengembalikan modalnya kepada tukang pukul yang menagihnya. Dari satu kubung, pinjaman itu lunas selama delapan hari. Tiga kubung lainnya mampu menghasilkan 1 ton jamur merang.
Empat bulan kemudian, dia berhasil membeli empat kubung bersama 1.500 meter lahannya di Tanjungpura, Karawang.
Dibakar warga
Misa memulai kehidupan baru usaha pembibitan dan budidaya jamur di tempat itu. Dari empat kubung terus dikembangkan menjadi 12 kubung, dan hasilnya puluhan juta rupiah. Misa lalu membeli 1 hektar sawah senilai Rp 50 juta tahun 1991 untuk memproduksi jerami. Karena tinggal di lingkungan petani miskin, perkembangan usaha Misa yang sangat cepat itu menimbulkan kecemburuan.
”Kami sudah berpuluh-puluh tahun menanam padi tetap miskin, tapi si jurig supa hanya beberapa bulan sudah kaya raya,” kenang Misa menirukan umpatan warga. Mereka pun ramai-ramai membakar kubung-kubung jamur Misa.
”Hati saya hancur saat melihat kepulan asap keluar dari sisa-sisa pembakaran kubung,” kata Misa. Ia pun stres dan hampir frustrasi menerima peristiwa pada pertengahan tahun 1992 itu. Namun, ia segera bangkit, membangun 30 kubung baru senilai Rp 35 juta dengan uangnya yang tersimpan di dalam drum selama usahanya berbulan-bulan.
Usahanya berkembang pesat karena dibantu puluhan tenaga kerja. Seiring berjalannya waktu, Misa membuka pelatihan magang bagi para calon wirausaha melalui Pusat Pendidikan dan Latihan Jamur Merang Kelompok Tani Jamur Prima, Karawang.
Misa bercerita mendapat ilmu ”perjamuran” itu semasa masih mengajar di ITB, tinggal di Dago, Bandung Utara. Saat itu dia bertetangga dengan Prof Han, guru besar yang saat itu menjadi dosen tamu mikrobiologi di ITB.
Suatu saat, profesor itu harus segera pulang ke negerinya, Jerman. Dia menitipkan buku-buku miliknya yang tak sempat dibawa pulang ke negerinya kepada Misa. ”Saya percayakan kepada kamu. Buku-buku ini jangan sampai keluar karena bersama 40 profesor lain kami sudah disumpah untuk tidak keluar ke negara lain,’’ ujar Prof Han.
Dasar ”tukang insinyur sableng”, sesudah guru besar pergi, ia melakukan nusumu, mempelajari buku-buku mikrobiologi itu. ”Ternyata bahasanya China sehingga saya harus minta bantuan seorang teman menerjemahkan,” kata Misa, yang pernah belajar jamur di Universitas Shanghai (2004).
Dari situlah Misa nekat hengkang dari ITB dan menjadi jurig supa hingga sekarang. Dari pusat pendidikannya, kini sudah ratusan orang menjadi pembudidaya jamur di seantero Nusantara.
Sumber
0 komentar:
Post a Comment