Ir Achmad Subagio: Penemu Mocaf yang Masuk Buku Tokoh Dunia

Hebat! Orang Indonesia sampai ada di buku tokoh dunia!

Dia tak pernah berhenti menciptakan inovasi. Baginya, inovasi harus memberi manfaat kepada orang lain dan lingkungan. Karena itu, dia tak ingin karyanya hanya menjadi penghias jurnal ilmiah.
BUKU bersampul hitam polos itu sangat tebal. Jumlah halaman buku berjudul Who’s Who in the World 2010 itu mencapai 3.197 halaman, ditambah belasan halaman pengantar. Di halaman 2625, nama Achmad Subagio tercetak di dekat pojok kiri bawah halaman.

Di belakang nama yang tercetak tebal itu, ditulis beberapa biodata nama dosen Fakultas Teknologi Pertanian (FTP) Universitas Jember (Unej) itu. Bagio – demikian Achmad Subagio biasa disapa- masuk dalam buku itu bersama 63 ribu orang lainnya dari berbagai belahan dunia, dengan beragam latar belakang dan profesi.

Buku Who’s Who in the World 2010 diterbitkan Marquis Who’s Who, sebuah lembaga nirlaba di Amerika Serikat yang setiap tahun merilis profil manusia di dunia yang memiliki karakter yang telah memberikan banyak manfaat bagi sesama. Di dalam buku yang terbit setiap tahun itu, juga masuk nama raja-raja di dunia, peraih Nobel, dan sebagainya.

Sekitar Agustus 2009, Bagio mendapat email dari Marquis. Melalui email, Marquis memberitahu alumnus Osaka Perfecture University, Jepang, itu bahwa dirinya dinominasikan masuk buku Who’s Who edisi 2010. Marquis mendapat data tentang Bagio berdasar referensi dan browse di internet. ”Sepertinya ada orang yang mempromosikan saya ke Marquis, tapi saya tidak tahu siapa. Marquis juga tidak memberitahu,” ujar Bagio.

Dalam beberapa korespondensi setelahnya, Bagio juga menyertakan profil diri. Salah satu yang turut disertakan adalah achievement yang sudah dilakukannya. Data achievement yang membuat Marquis tertarik adalah saat Bagio menulis tentang risetnya untuk mengembangkan teknologi mocaf (modified cassava flour) sebagai industri bisnis masyarakat pedesaan untuk ketahanan pangan. Setelah melalui sejumlah korespondensi elektronik, pada Oktober 2009 Marquis memastikan Bagio masuk dalam buku Who’s Who in the World 2010.

Masuknya nama Bagio dalam buku Who’s Who in the World 2010 adalah apresiasi terbaru dari dunia internasional atas reputasi ilmuwan kelahiran Kediri ini. Sebelum ini, Bagio juga dinobatkan sebagai satu dari 100 peneliti muda inovatif Indonesia oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Bagio masuk dalam daftar 100 inovator Indonesia atas penemuan teknologi mocaf, yakni teknologi pembuatan tepung singkong yang sudah dimodifikasi.

Sebagai inovator, Bagio tidak berhenti sampai pada menemukan teknologi baru, lalu dipublikasikan di jurnal ilmiah. ”Inovator adalah orang yang melakukan proses kreatif dan hasil kreatifitasnya itu bisa berguna bagi dirinya, orang lain, dan masyarakat,” tuturnya.

Sepulang S3 di Jepang, Bagio bertekad untuk mengembangkan potensi lokal di Indonesia yang bisa go international. Rumusnya adalah r = g atau local resource to global. Sehingga, sejak 2002 Bagio mulai melakukan riset terhadap koro-koroan. Tekadnya adalah membuat koro-koroan menjadi substitusi (pengganti) kedelai. Bahkan, hasil risetnya tentang koro-koroan itu sempat dia presentasikan di Afrika Selatan, Tanzania, dan Malawi. ”Sekarang Bulog meminta saya untuk membuat tulisan tentang koro-koroan ini,” ungkapnya.

Sekitar 2003, Bagio berkesempatan ke Belanda selama tiga pekan. Di negeri kincir itu, dia sempat melawat ke pabrik AVB, sebuah pabrik yang sahamnya dimiliki para petani kentang. Pabrik itu bisa mengolah kentang menjadi bahan pangan, pakan, dan industrial chemistry. ”Saat di Jepang itu saya ada ide bahwa di Indonesia juga banyak local resource karbohidrat. Pikiran saya langsung ke sagu dan singkong,” ujarnya.

Setiba di Indonesia, dia langsung meriset berbagai pemanfaatan singkong. Dia lantas menemukan Thailand. Di negeri gajah putih itu, selain untuk bahan pangan, singkong bisa dimanfaatkan pakan ternak, etanol, dan bioplastic.

Namun, untuk menjadikan singkong sebagai bahan pangan dinilai Bagio tidak mudah. Sebab, image singkong selama ini inferior alias identik dengan bahan pangan orang miskin. ”Agar tidak inferior, singkong harus dapat sentuhan teknologi,” tukas Bagio.

Lalu, Bagio kembali melakukan studi tentang pengolahan singkong. Lantas dia menemukan fakta, di Amerika Selatan, singkong bisa diolah menjadi tapioka masam. Tapi, untuk bisa mengolah singkong menjadi tapioka masam, diperlukan waktu selama empat bulan. ”Pikir saya, ah terlalu lama,” cetus bapak dari seorang anak ini.

Kemudian di Afrika, singkong diolah menjadi gari dan fufu. Bahan pangan khas Afrika ini sebenarnya sudah diakui oleh FAO sebagai bahan pangan potensial, namun tidak cocok untuk Indonesia. Sebab, bau, rasa, dan warna gari dan fufu tidak menarik.

Di Indonesia, singkong biasa diolah menjadi makanan gatot, tiwul, atau gaplek. Kalaupun singkong dipakai untuk tapioka, aplikasinya terbatas karena karakter singkong tidak bisa hilang. ”Sehingga saya berpikir bagaimana membuat singkong ini netral, tidak berasa dan berbau singkong, tapi berbentuk tepung,” ujarnya soal awal mula ide menemukan mocaf.

Berbekal dana penelitian Kementerian Ristek, Bagio mulai meneliti singkong di laboratorium. Setelah memodifikasi sel singkong melalui fermentasi, Bagio menghasilkan tepung mocaf. Tepung buatan laboratorium itu lantas diperkenalkan Bagio ke sejumlah perusahaan makanan, dimana Bagio menjadi konsultan di dalamnya.

Untuk pertama, sebuah pabrik mie instan mensubtitusi tepung terigu sebanyak 30 persen dengan mocaf. ”Dapat seminggu, pabrik mie ini bilang mie yang pakai mocaf bagus,” ungkapnya.

Di tengah upaya mengenalkan mocaf ke berbagai kalangan, Bagio pada 2005 mendapat kesempatan untuk presentasi tentang mocaf di depan Bupati Trenggalek, Jatim, Soeharto. Setelah mendapat paparan darinya, Bupati Trenggalek sangat tertarik mengembangkan mocaf di wilayahnya. Selama ini Trenggalek dikenal sebagai salah satu sentra singkong yang cukup besar di Jatim. Dia berharap, nilai tambah singkong di wilayahnya akan naik setelah mendapat sentuhan teknologi.

Dengan dukungan penuh Pemkab Trenggalek, mocaf mulai diproduksi oleh Koperasi Gemah Ripah Loh Jinawi. Kapasitas produksi pabrik mocaf di Trenggalek saat itu hanya 30 ton/bulan. Namun, kini menjadi 200 ton/bulan. Ke depan, Bagio memiliki obsesi untuk menjadikan mocaf sebagai slot pangan tersendiri, bukan sebagai bahan substitusi (pengganti).

Meski mocaf sudah diproduksi masal, sebagai inovator Bagio tak pernah puas diri. Saat ini dia telah membuat sejumlah produk turunan mocaf. Yaitu, mocaf merah, mocaf biru, mocaf HF (high fiber), mocaf SB, dan mocaf sera. ”Semua produk turunan mocaf ini sudah diproduksi di Trenggalek,” ungkapnya.

Hampir empat tahun lamanya produksi mocaf di Trenggalek terus menggelinding. Kini banyak bermunculkan usaha pendukung di sana, seperti bengkel mesin perajang singkong, perajin tampah, dan sebagainya. Tenaga kerja yang terserap, dari pabrik, petani, dan pelaku usaha pendukung lainnya, diperkirakan lebih dari 1.500 orang.

Sayang, Bagio merasa dukungan pemerintah terhadap produk hasil inovasinya masih kurang. Mestinya, di saat mocaf mulai dilirik industri pangan sebagai bahan baku pengganti tepung gandum, pemerintah memberikan insentif untuk menstimulus pengembangan mocaf sebagai bahan pangan berbahan baku lokal. ”Misalnya, pemerintah memberikan pengurangan pajak. Tapi, sekarang ini tidak,” ujarnya.

Selain itu, dia menilai pemerintah tidak memiliki niat yang sama untuk mendorong sebuah inovasi anak bangsa untuk terus berkembang. Yang paling dirasakan Bagio adalah kuatnya ego sektoral di masing-masing kementerian. ”Riset mocaf memang didanai oleh Kementerian Ristek. Namun, mestinya perlu juga dukungan dari kementerian yang lain,” harapnya.

Misalnya, Kementerian Perindustrian membantu standarisasi produksi mocaf dengan menetapkan SNI (standard nasional Indonesia). Kemdian, Kementerian Pertanian mendukung produksi bahan baku dan Bulog menciptakan captive market. Lalu, Kementerian Perdagangan mengatur tata niaga mocaf, serta Kementerian Keuangan memberikan stimulus fiskal berupa pembebasan atau pengurangan pajak agar mocaf memiliki daya saing.

Terkait inovasi dan dukungan pemerintah, Bagio ingat dengan ”perseteruan” Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan Jusuf Kalla (JK) saat pemilu presiden lalu. Saat itu JK menyindir jingle iklan kampanye SBY yang mirip iklan mie instan. ”Saat itu Pak JK bilang nasionalismenya kurang karena pakai iklan mie instan. Mie instan kan dibuat dari tepung gandum, gandumnya impor semua,” papar Bagio menirukan ucapan JK kala itu.

Lalu, SBY pun membalas ‘’serangan” JK dengan mengatakan, ada juga kok mie yang terbuat dari tepung singkong. ”Setahun sebelumnya Pak SBY sudah mengenal mocaf di sebuah pameran dan mendukung sekali. Makanya, kalau ingat daya dukung pemerintah yang kurang, mestinya saya bisa menagih janji Pak SBY agar temuan saya ini tidak hanya dijadikan ajang kampanye,” pungkasnya. (Hari Setiawan)

*) Radar Jember, 20 Juni 2010, yang dicuplik dari blog www.indonesiabuku.com

0 komentar:

Post a Comment