Budiman Sang Inovator Pita Volume Kayu dari Indonesia

Minimnya informasi, tingkat pengetahuan yang rendah, dan mendesaknya kebutuhan ekonomi sering kali menyebabkan petani hutan rakyat menjadi tidak berdaya ketika berhadapan dengan tengkulak. Akibatnya, ketika menjual kayu, petani menghitungnya berdasarkan jumlah batang pohon yang akan dijual. Padahal, lazimnya di pasaran, penjualan kayu dihitung berdasarkan volume.

Konsekuensi lanjutan dari praktik seperti itu ialah petani rugi. Sebaliknya, si tengkulak dapat mengeruk untung besar dari cara jual-beli kayu seperti itu karena mereka akan menjual kayu tersebut berdasarkan volume. Akibatnya, ada potensi pendapatan yang tidak diterima oleh petani.

Di samping itu, dari sisi kelestarian hutan, praktik penjualan kayu berdasarkan batangan ini mengancam keberadaan hutan. Karena petani menjual kayu dalam bentuk log atau batangan, mereka cenderung menjual lebih banyak pohon daripada jika menjual berdasarkan volume.

Padahal, kayu sangat berharga dan bernilai tinggi. Semakin lama kayu berada di hutan, fungsi ekologisnya akan semakin lama berjalan.

Kondisi seperti itulah yang menggugah Budiman Achmad mencari jalan keluar yang tidak merugikan petani. ”Kalau hutan rakyat mau lestari, petani harus sejahtera. Kalau petani hutan rakyat sejahtera, ancaman gangguan terhadap hutan negara pun bisa ditekan. Sebenarnya, hanya dengan menjual kayu sedikit saja mereka sudah bisa mencukupi kebutuhannya. Tidak perlu menjual kayu banyak-banyak,” tuturnya.

Budiman adalah Ketua Kelompok Peneliti Sosial Ekonomi Kehutanan pada Balai Penelitian Kehutanan Ciamis (BPKC).

Budiman tak hanya berwacana, tetapi dia juga menawarkan solusi konkret berupa sebuah pita pengukur volume kayu.

Sepintas, pita volume kayu hasil karya Budiman tidak jauh berbeda dengan pita meteran yang biasa dipakai penjahit pakaian. Pita volume kayu lebarnya sekitar 3 sentimeter. Di situ tertera dua deret angka. Deret pertama adalah angka yang menunjukkan panjang lingkar kayu dalam sentimeter yang ditulis dengan tinta merah. Sementara angka pada deret kedua ialah deretan angka penunjuk volume dalam meter kubik yang ditulis dengan tinta hijau.

Pengukur volume kayu

Selama ini, kata Budiman, petani biasanya menggunakan tabel volume untuk mengukur volume kayu. Cara ini dinilai merepotkan sebab petani harus mengukur terlebih dulu berapa lingkar batang pohon, kemudian menghitung diameter. Setelah itu, baru mencocokkannya dengan tabel volume kayu.

Beda halnya jika petani menggunakan pita volume. Cukup hanya mengukur lingkar pohon dengan cara melingkarkan pita volume, petani sudah mengetahui berapa meter kubik volume batang pohon itu. Selain itu, pita volume sangat praktis untuk dibawa-bawa dalam saku celana atau baju.

Namun, Budiman menegaskan, pita volume kayu ciptaannya hanya berlaku untuk pohon pinus di Tapanuli Utara. Pita ini tidak untuk dipakai pada komoditas lain dan daerah lain. ”Pita volume ini memang dibuat di Ciamis, tetapi rumus pembuatan pita ini saya bikin berdasarkan data lapangan di Tapanuli Utara, tempat saya bekerja sebelum dipindah ke Ciamis,” ujar pria kelahiran Nganjuk, Jawa Timur, 51 tahun lalu, itu.

Setiap daerah memiliki karakter tanah yang berbeda-beda. Demikian pula respons dan pertumbuhan tanaman terhadap tanah tersebut. Karena itu, kata Budiman, mengonversi panjang lingkar batang suatu jenis tanaman di satu daerah ke dalam ukuran volume memiliki penghitungan tertentu. Begitu juga kayu di daerah lain, ada rumus penghitungannya sendiri-sendiri.

Setelah sering dipamerkan dalam seminar dan gelar teknologi kehutanan di BPKC, banyak pihak yang meminta Budiman membuat pita volume kayu untuk komoditas lain, misalnya sengon. Akhirnya, BPKC pun meresponsnya dan kini sebuah tim sedang bekerja membuat pita volume untuk kayu sengon.

Forum Rimbawan

Bagi pria yang kini mengikuti program doktoral di Universitas Gadjah Mada (UGM) itu, pita volume kayu merupakan contoh karya nyata peneliti untuk petani. Hasil-hasil riset dari berbagai lembaga penelitian akan sia-sia jika tidak bisa diaplikasikan oleh masyarakat petani secara sederhana. Jika demikian adanya, peneliti dan karya-karyanya akan tetap menjadi menara gading yang sulit dijangkau oleh petani yang merupakan sebagian besar penduduk negeri ini.

Sebagai peneliti, Budiman tidak melulu berkutat dengan penelitian. Dia terlibat secara langsung membina sejumlah kelompok tani hutan. Dalam setiap pertemuan dengan para petani, ia selalu menyampaikan apa saja teknologi kehutanan yang terbaru, mulai dari cara menanam yang baik hingga fasilitasi pasar. Semua ia lakukan semata-mata agar petani lebih cerdas.

Kuatnya keinginan untuk mencerdaskan petani mendorong Budiman membuka saluran komunikasi dengan petani, baik melalui telepon, surat elektronik, maupun datang langsung ke kantor. Dia bersedia membantu petani mengatasi permasalahannya, kapan saja.

Budiman juga membina Forum Rimbawan Bina Wana Enterprise (semacam kelompok tani hutan) di wilayah Ciamis-Banjar, dengan jumlah tanaman mencapai 79.000 pohon.

Setiap berinteraksi dengan petani, Budiman selalu menerima keluhan petani yang sulit menaksir volume kayu. Akibat pengetahuan yang minim itu, petani tidak memiliki posisi tawar yang tinggi di hadapan pembeli atau tengkulak ketika menjual kayunya.

Akhirnya setiap bertemu dengan petani, misalnya dalam gelar teknologi, sosialisasi, maupun penelitian di lapangan, Budiman menyampaikan bagaimana menghitung volume kayu yang benar kepada petani. Ketika terjun ke lapangan atau dalam gelar teknologi, ia selalu mendemonstrasikan cara menghitung volume kayu yang benar.

Untuk lebih memudahkan petani menghitung volume kayu, ia pun sedang menyiapkan pita pengukur volume kayu untuk kayu sengon di Jawa Barat. ”Nantinya pita volume kayu itu akan kami bagikan gratis kepada kelompok tani,” ujarnya.

Dia mengharapkan, ke depan peneliti semakin mampu melahirkan karya yang aplikatif untuk kepentingan petani. Pita volume kayu hasil proses kreatifnya semoga menjadi inspirasi bagi peneliti lain.

• Lahir: Nganjuk, 4 November 1959

• Pekerjaan: Pegawai Negeri Sipil

• Jabatan: Ketua Kelompok Peneliti Sosial Ekonomi Kehutanan di Balai Penelitian Kehutanan Ciamis

• Istri: Dian Dhiniyati (42)

• Anak: Hanifah Ramdaniah (11),Yasmin Sekar Arum (9), Kurnia Cahya Nisa (5)

• Pendidikan:
- S-1 Manajemen Hutan IPB, lulus 1985
- Magister School of Forestry, University of Canterbury, Selandia Baru, lulus 1995
- Program doktoral Kebijakan Kehutanan, UGM Yogyakarta, masuk 2009

Sumber: teknologitinggi

0 komentar:

Post a Comment